BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Islam
adalah agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan
aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga
mu`amallah (hubungan antyar mahluk
hidup). Setiap orang pasti butuh untuk
berinteraksi dengan lainnya menutupi kebutuhan dan saling tolong-menolong
diantara mereka.
Karena
itulah sangat perlu sekali bagi kita untuk mengetahui aturan islam dalam semua
sisi kehidupan kita sehari-hari,diantaranya yang bersifat interaksi sosial
dengan sesame manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu
tangan ke tangan yang lainnya.
Hutaang
piutang biasanya tidak dapat dihindari, padahal banyak sekali bermunculan
fenomena-fenomena ketidak percayaan diantara manusia, terlebih lagi di zaman
yang serba berbayar ini, dimana desakan ekonomi sangat bepengaruh. Sehingga
orang terdesak untuk jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan
hartanya.
Dalam
hal jual beli banyak sekali metode yang diterapkan di dalamnya, dan salah
satunya adalah dengan rahn (gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh
dilakukan dan tidak berhukum riba selam syarat dan rukunnya terpenuhi. Akan
tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut sehingga tidak
sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui dasar
hokum gadai tersebut. Oleh karena itu kami akan menjelaskan sedikit tentang apa
itu gadai dan hukumnya.
- Rumusan
Masalah
Adapun
masalah yang dapat kami rumuskan adalah
:
- Apa
yang dimaksud dengan Rahn ?
- Apa
dasar dan hukum Rahn ?
- Apa
rukun Rahn ?
- Apa
sifat Rahn ?
- Tujuan
Adapun tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui jawaban dari apa yang di
rumuskan di atas
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara etimologi,
Rahn berarti tetap dan berkesinambungan. Disebut juga dengan al-habsu yang artinya menahan. Contoh
penggunaanya dalam kalimat “ni`matun
rahinah” yang bermakna karunia yang tetap dan berkesinambungan. Penggunaan rahn untuk makna al-habsu “menahan” dimuat dalam al-qur`an :
“tiap-tiap pribadi
terikat (tertahan) dengan atas apa yang telah diperbuatnya” (al-mudatstsir:38)[1]
Menurut
terminology syara` adalah penahanan
terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran
dari barang tersebut.[2]
Ulama
berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn[3]
:
a.
Menurut ulama Syafi`iyah:
Menjadikan benda
sebagai suatu jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan
dalam membayar utang
b.
Menurut ulama Hanabilah :
Harta yang
dijadikan jaminan hutang utang sebagai pembayar harga(nilai) hutang ketika yang
berhutan berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.
Jika
seseorang berhutang pada orang lain, maka ia menjadikan barang miliknya,
bergerak ataupun tidak bergerak seperti ternak untuk diberikan kepada debitor hingga ia melunasi semua
utangnya.
B.
Sifat Rahn
secara
umum rahn dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang
diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murahin) tidak
ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murtahin kepada Rahin adalah
hutang, bukan penukar atas barang yang digadaikan.
Rahn
juga termasuk akad yang bersifat ainiyyah, yaitu dikatakan sempurna
sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam-meminjam,
titipan dan, qirad. Semua termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan
sempurna setelah memegang (al-qabdu), seperti qaidah “la yatimmu
at-tabarru`i illa bil al-qobdi” (tidak sempuirna tabarru, kecuali setelah
pemegangan[4]
C. Dasar dan Hukum Rahn
Mengenai tentang hukum melaksanakan gadai ataupun rahn, Para ulama sepakat bahwa gadai hukumnya boleh dan tidak pernah
mempertentangkan tentang hukum mubah gadai dan landasan hukumnya, namun tidak
diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja ketika kedua belah pihak saling tidak
percaya
Hukum islam tentang gadai adalah Jaiz atau boleh
berdasarkan al-quran, sunnah, dan ijma`
Dalil Al-Qur`an :
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
“jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada
barang tanggungan yag dipegang (oleh orang yang menghutangkan) akan tetapi jika
sebagian dari kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercaya itu menunaikan amanat (utang) nya dan hendaklah ia bertaqwa kepada
Allah tuhannya” (Al-Baqarah : 283)[5]
Dalil sunnah :
Rasululloh pernah menggadaikan baju besinya kepada
orang Yahudi untuk meminjam Gandum. Yahudi tersebut berkata, “sungguh engkau
Muhammad ingin membawa lari hartaku.” Rosululloh kemudian menjawab
“Bohong ! sesungguhnya aku orang yang paling jujur di atas bumi dan langit ini.
Apabila kau berikan amanat kepadaku pasti akan aku tunaikan. Pergilah kalian
menemuinya dengan membawa baju besiku.”
Dalam riwayat bukhori dan lainnya Aisyah Ummul
Mukminin r.a. menceritakan,”Rosululloh pernah membeli makanan dari orang Yahudi
dan ia menggadaikan baju besinya.”
.[6]
mayoritas ulama berpendapat bahwa syariat tersebut di berlakukan bagi orang
yang tidak bepergian dan bepergian, dengan dalil perbuatan Rosululloh SAW.
Terhadap orang Yahudi tersebut yang berada di Madinah. Jika bepergian,
sebagaimana dikaitkan dalam ayat, maka tergantung kebiasaan yang berlakupada
masyarakat tersebut.
Mujahhid, adh Dhahhak, dan pengikut madzhab
azh-Zhahiri berpendapat bahwa gadai tidak disyariatkan kecuali pada waktu
bepergian, berdasarkan ayat di atas. Namun, ada hadist yang menyaggah pendapat
tersebut.[7]
D. Rukun Rahn
1. Ijab dan qobul
2. Aqid (rahin dan murtahin)
3. Marhun (barang yang digadaikan/borg)
Rahn memiliki 4 unsur, yaitu[8]
:
- Rahin (orang
yang memberikan jaminan).
- Murtahin (Orang
yang menerima).
- Marhun (jaminan).
- Marhun bih (utang).
E. Syarat Rahn
Dalam Rahn disyaratkan beberapa syarat berikut.
- Aqid
Kedua orang yang melakukan akad harus memenuhi
kriteria al-ahliah. Menurut ulama Syafiiyah,ahliyah adalah orang yang telah
syah untuk melakukan jual-beli, yakni berakal dan mumayyiz, dan atau orang yang
bodoh berdasarkan izin dari walinya untuk melakukan Rahn[9].
- Sighat
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn
tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuat. Hal ini karena, rahn
jual-beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap
syah. Dan para ulam selain hanabilah bahwa syarat dalm rah nada yang shahih da
nada yang rusak[10].
- marhun bih
Marhun bih adalah hak
yang diberikan ketika rahn. Ulama hanafiyah memberikan beberapa syarat,
yaitu[11].
- Marhun bih hendaklah barang yang wajib
diserahkan kepada orang yang menggadaikan barang
- Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan.
- Hak atas marhun harus jelas
dengan demikian, tidak boleh memberikan dua marhun
bih tanpa dijelaskan utang mana yang menjadi rahn.
Ulama
hanabilah dan syafi`iyah memberikan 3 syarat bagi marhun bih[12]
:
a.
Berupa
utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan.
b.
Utang
harus lazim pada waktu akad
c.
Utang
harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
- Marhun (borg)
Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh rahin.
Para ulama sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persayaratan
barang dalam jual-beli, sehingga barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi
kebutuhan murtahin.
- kesempurnaan rahn (memegang /menerima
barang).
Secara umum, ulama fiqih sepakat bahwa memegang atau
menerima barang adalah syarat dalam rahn, yang didasarkan pada firman allah
SWT. “jika kamu dalam perjalana (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan
kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang.”(QS. Al-Baqarah :283)
F. Permasalahan yang berhubungan
dengan Rahn
a. Hak penerima gadai
Hak penerima gadai adalah menahan barang gadai
sampai orang yang menggadaikannya memenuhi kewajibannya. Jika penggadai tidak
melaksanakan kewajiban tersebut sampai jatuh tempo, maka penerima gadai bias
melapor kepada penguasa. Kemudian penguasa menjual barang gadai kepadanya. Jika
ia tidak menanggapi penerimaan gadai untuk di jual, maka penguasa
menasihatinya. Demikian pula jika penggadai bepergian.
Jika orang yang menggadaikan menguasakan kepada
penerima gadai untuk menjual barang gadaian pada saat jatuh tempo, maka hal itu
di bolehkan. Tetapi Malik Memakruhkan, kecuali jika perkaranya di ajukan kepada
penguasa[13].
b. Pemanfaatan barang gadai
Pada dasarnya tidak boleh terlalu lama memanfaatkan
borg sebab hal itu bisa menyebabkan borg hilang atau rusak. Hanya saja
diwajibkan mengambil faedah ketika berlangsungnya rahn. Dan siapa saja yang
berhak memanfaatkannya perhatikan uraian berikut[14]
:
1.
Pemanfaatan
rahin atas borg
Jumhur ulama selain syafii melarang rahin untuk
memanfaatkan borg, sedangkan ulama syafiiyah membolehkannya selama tidak
memadlaratkan murtahin.
2.
Pemanfaatan
murtahin atas borg
jumhur ulam berpendapat bahwa penerima gadai tidak
boleh mengambil manfaat dari barang gadai.
Ulama lain berpendapat, apabila barang gadai itu
berupa hewan, maka penerima gadai boleh mengambil air susu dan menungganginya
dalam kadar yang seimbang ddengan makanan dan biaya yang diberikan kepadanya.
Pendapat ini di kemukakan oleh Ahmad dan Ishaq. Pegangan mereka adalah hadist
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. dari nabi SAW. “Sesungguhnya nabi SAW
bersabda ,’barang gadai itu diambil susunya dan ditunggangi”[15].
c. Yang membatalkan gadai
apabila barang gadai telah dikembalikan pada pihak
rahin dengan keinginan pihak murtahin, maka akadnya menjadi batal[16].
d. Musnahnya barang gadai[17]
Mengenai tanggung jawab atas musnahnya barang gadai,
para ulama berbeda pendapat, sebagian ulama berpendapat bahwa barang gadai
adalah titipan dari oranmg yang menggadaikan. Jika terjadi kemusnahan ditangan
penerima gadai, maka yang dipegangi adalah kata-kata penerima gadai dibarengi
sumpahnya, bahwa ia tidak melalaikan dan tidak menganiaya barang tersebut.
Pendapat ini dipegangi oleh Syafi`I, Ahmad, Abu Tsaur, dan kebanyakan ahli
hadist.
Ulama lain berpendapat bahwa barang gadai itu dari
penerima gadai dan kerugiannyapun dibebankan kepadanya. Pendapat ini dipegangi
oleh Abu Hanifah dan jumhur Fuqoha.
Namun juga ada sebagian ulama yang menjadikan barang
gadai sebagai titipan yang tidak harus ditanggung kerusakanya oleh penerima
gadai, berpegangan dengan hadist Sa`id bin Musayyab r.a. dari Abu Hurairah r.a.
bahwa nabi SAW bersabda : “barang gadai itu
tidak dimiliki oleh penerima gadai, dan ia adalah dari orang yang
menggadaikannya. Baginya keuntungan dan kerugiannya” [18]
e. Menjual atau menghibahkan barang
gadai
jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang
menggadaikan tidak boleh menjual atau menghibahkan barang gadai. Jika ioa
menjualnya, meka penerima barang gadai bias mengijinkan gadai atau membatalkan.
Menurut malik, jika penerima barang gadai menyatakan
bahwa dirinya mengizinkan barang itu dijual, itu dimaksudkan untuk mempercepat
pelunasan kewajibannya, maka ia harus bersumpah untuk maksud tersebut, dan ia
punya hak untuk berbuat demikian.
Segolongan ulama berpendapat bahwa barang gadai itu
bias dijual.
Jika barang gadai berupa budak lelaki atau budak
perempuan kemudian dimerdekakan oleh orang yang menggadaikan, Malik
berpendapat, jika orang yang menggadaikan itu kaya, maka pemerdekaanya itu
bdapat diluluskan, dan pelunasan hak penerima gadai dapat dipercepat. Sedang
jika dia orang yang tidak mampu, maka budak tersebut dijual, dan kewajibannya
untuk melunasi utang dibayarkan dari harga penjualan tersebut.
Dari Syafi`I ada tiga pendapat : di tolak,
diluluskan, dan yang ketiga sependapat dengan Malik.[19]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah diatas maka bias diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1.
Rahn barang yang diberikan kepada pemberi hutang sebagai jaminan atas hutang
yang dipinjam sampai hutang tersebut dikembalikan sepenuhnya
2.
Dasar
hukum rahn adalah berdasarkan firman allah yang berbunyi :
“jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada
barang tanggungan yag dipegang (oleh orang yang menghutangkan) akan tetapi jika
sebagian dari kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercaya itu menunaikan amanat (utang) nya dan hendaklah ia bertaqwa kepada
Allah tuhannya” (Al-Baqarah : 283)
Dan juga dalil sunnah :
Dalam riwayat bukhori dan
lainnya Aisyah Ummul Mukminin r.a. menceritakan,”Rosululloh pernah membeli makanan
dari orang Yahudi dan ia menggadaikan baju besinya.”
3.
Rukun Rahn
adalah :
a.
Rahin (orang yang memberikan jaminan).
b.
Murtahin (Orang yang menerima).
c.
Marhun (jaminan).
d. Marhun bih (utang).
4.
Rahn bersifat akad derma sebab apa yang diberikan penggadai kepada penerima
gadai adalah tidak ditukar dengan sesuatu. Karena sejatinya yang diberikan
penerima gadai kepada penggadai adalah bukan sebagi penukar atas barang yang
digadaikan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Syafe`i
Rachmat, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, bandung 2001
2.
Sabiq
Sayyid, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta 2006
3.
Rusyd
Ibnu, bidayatul Mujtahid, pustaka Amani , Jakarta 2007