Jumat, 27 Februari 2015

Makalah gadai (rahn) dan permasalahannya dalam prespektif hukum perdata islam

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu`amallah  (hubungan antyar mahluk hidup).  Setiap orang pasti butuh untuk berinteraksi dengan lainnya menutupi kebutuhan dan saling tolong-menolong diantara mereka.
Karena itulah sangat perlu sekali bagi kita untuk mengetahui aturan islam dalam semua sisi kehidupan kita sehari-hari,diantaranya yang bersifat interaksi sosial dengan sesame manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ke tangan yang lainnya.
Hutaang piutang biasanya tidak dapat dihindari, padahal banyak sekali bermunculan fenomena-fenomena ketidak percayaan diantara manusia, terlebih lagi di zaman yang serba berbayar ini, dimana desakan ekonomi sangat bepengaruh. Sehingga orang terdesak untuk jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Dalam hal jual beli banyak sekali metode yang diterapkan di dalamnya, dan salah satunya adalah dengan rahn (gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak berhukum riba selam syarat dan rukunnya terpenuhi. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui dasar hokum gadai tersebut. Oleh karena itu kami akan menjelaskan sedikit tentang apa itu gadai dan hukumnya.


    1.  Rumusan Masalah
Adapun masalah  yang dapat kami rumuskan adalah :
  1. Apa yang dimaksud dengan Rahn ?
  2. Apa dasar dan hukum Rahn ?
  3. Apa rukun Rahn ?
  4. Apa sifat Rahn ?
  1. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui jawaban dari apa yang di rumuskan di atas


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian
Secara etimologi, Rahn berarti tetap dan berkesinambungan. Disebut juga dengan al-habsu yang artinya menahan. Contoh penggunaanya dalam kalimat “ni`matun rahinah” yang bermakna karunia yang tetap dan berkesinambungan. Penggunaan rahn untuk makna al-habsu  “menahan”  dimuat dalam al-qur`an :
“tiap-tiap pribadi terikat (tertahan) dengan atas apa yang telah diperbuatnya” (al-mudatstsir:38)[1]
Menurut terminology syara` adalah  penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.[2]
Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn[3] :
a.                   Menurut ulama Syafi`iyah:
Menjadikan benda sebagai suatu jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang
b.                  Menurut ulama Hanabilah :
Harta yang dijadikan jaminan hutang utang sebagai pembayar harga(nilai) hutang ketika yang berhutan berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.
Jika seseorang berhutang pada orang lain, maka ia menjadikan barang miliknya, bergerak ataupun tidak bergerak seperti ternak untuk diberikan  kepada debitor hingga ia melunasi semua utangnya.
B.     Sifat Rahn
secara umum rahn dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murtahin kepada Rahin adalah hutang, bukan penukar atas barang yang digadaikan.
Rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyyah, yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan, qirad. Semua termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al-qabdu), seperti qaidah “la yatimmu at-tabarru`i illa bil al-qobdi” (tidak sempuirna tabarru, kecuali setelah pemegangan[4]

C.     Dasar dan Hukum Rahn
Mengenai tentang hukum melaksanakan gadai ataupun rahn, Para ulama sepakat bahwa gadai hukumnya boleh dan tidak pernah mempertentangkan tentang hukum mubah gadai dan landasan hukumnya, namun tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja ketika kedua belah pihak saling tidak percaya
Hukum islam tentang gadai adalah Jaiz atau boleh berdasarkan al-quran, sunnah, dan ijma`
Dalil Al-Qur`an :
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  


“jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yag dipegang (oleh orang yang menghutangkan) akan tetapi jika sebagian dari kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanat (utang) nya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah tuhannya” (Al-Baqarah : 283)[5]
Dalil sunnah :
Rasululloh pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk meminjam Gandum. Yahudi tersebut berkata, “sungguh engkau Muhammad ingin membawa  lari hartaku.” Rosululloh kemudian menjawab “Bohong ! sesungguhnya aku orang yang paling jujur di atas bumi dan langit ini. Apabila kau berikan amanat kepadaku pasti akan aku tunaikan. Pergilah kalian menemuinya dengan membawa baju besiku.”
Dalam riwayat bukhori dan lainnya Aisyah Ummul Mukminin r.a. menceritakan,”Rosululloh pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan ia menggadaikan baju besinya.”
 .[6] mayoritas ulama berpendapat bahwa syariat tersebut di berlakukan bagi orang yang tidak bepergian dan bepergian, dengan dalil perbuatan Rosululloh SAW. Terhadap orang Yahudi tersebut yang berada di Madinah. Jika bepergian, sebagaimana dikaitkan dalam ayat, maka tergantung kebiasaan yang berlakupada masyarakat tersebut.
Mujahhid, adh Dhahhak, dan pengikut madzhab azh-Zhahiri berpendapat bahwa gadai tidak disyariatkan kecuali pada waktu bepergian, berdasarkan ayat di atas. Namun, ada hadist yang menyaggah pendapat tersebut.[7]

D.    Rukun Rahn
1.      Ijab dan qobul
2.      Aqid (rahin dan murtahin)
3.      Marhun  (barang yang digadaikan/borg)

Rahn memiliki 4 unsur, yaitu[8] :
  1. Rahin (orang yang memberikan jaminan).
  2. Murtahin (Orang yang menerima).
  3. Marhun (jaminan).
  4. Marhun bih (utang).

E.     Syarat Rahn
Dalam Rahn disyaratkan beberapa syarat berikut.
  1. Aqid
Kedua orang yang melakukan akad harus memenuhi kriteria al-ahliah. Menurut ulama Syafiiyah,ahliyah adalah orang yang telah syah untuk melakukan jual-beli, yakni berakal dan mumayyiz, dan atau orang yang bodoh berdasarkan izin dari walinya untuk melakukan Rahn[9].
  1. Sighat
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuat. Hal ini karena, rahn jual-beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap syah. Dan para ulam selain hanabilah bahwa syarat dalm rah nada yang shahih da nada yang rusak[10].
  1. marhun bih
Marhun bih adalah hak yang diberikan ketika rahn. Ulama hanafiyah memberikan beberapa syarat, yaitu[11].
  1. Marhun bih hendaklah barang yang wajib diserahkan kepada orang yang menggadaikan barang
  2. Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan.
  3. Hak atas marhun harus jelas
dengan demikian, tidak boleh memberikan dua marhun bih tanpa dijelaskan utang mana yang menjadi rahn.
 Ulama hanabilah dan syafi`iyah memberikan 3 syarat bagi marhun bih[12] :
a.       Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan.
b.      Utang harus lazim pada waktu akad
c.       Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
  1. Marhun (borg)
Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh rahin. Para ulama sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persayaratan barang dalam jual-beli, sehingga barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan murtahin.
  1. kesempurnaan rahn (memegang /menerima barang).
Secara umum, ulama fiqih sepakat bahwa memegang atau menerima barang adalah syarat dalam rahn, yang didasarkan pada firman allah SWT. “jika kamu dalam perjalana (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.”(QS. Al-Baqarah :283)

F.      Permasalahan yang berhubungan dengan Rahn
a.      Hak penerima gadai
Hak penerima gadai adalah menahan barang gadai sampai orang yang menggadaikannya memenuhi kewajibannya. Jika penggadai tidak melaksanakan kewajiban tersebut sampai jatuh tempo, maka penerima gadai bias melapor kepada penguasa. Kemudian penguasa menjual barang gadai kepadanya. Jika ia tidak menanggapi penerimaan gadai untuk di jual, maka penguasa menasihatinya. Demikian pula jika penggadai bepergian.
Jika orang yang menggadaikan menguasakan kepada penerima gadai untuk menjual barang gadaian pada saat jatuh tempo, maka hal itu di bolehkan. Tetapi Malik Memakruhkan, kecuali jika perkaranya di ajukan kepada penguasa[13].

b.      Pemanfaatan barang gadai
Pada dasarnya tidak boleh terlalu lama memanfaatkan borg sebab hal itu bisa menyebabkan borg hilang atau rusak. Hanya saja diwajibkan mengambil faedah ketika berlangsungnya rahn. Dan siapa saja yang berhak memanfaatkannya perhatikan uraian berikut[14] :
1.      Pemanfaatan rahin atas borg
Jumhur ulama selain syafii melarang rahin untuk memanfaatkan borg, sedangkan ulama syafiiyah membolehkannya selama tidak memadlaratkan murtahin.
2.      Pemanfaatan murtahin atas borg
jumhur ulam berpendapat bahwa penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadai.
Ulama lain berpendapat, apabila barang gadai itu berupa hewan, maka penerima gadai boleh mengambil air susu dan menungganginya dalam kadar yang seimbang ddengan makanan dan biaya yang diberikan kepadanya. Pendapat ini di kemukakan oleh Ahmad dan Ishaq. Pegangan mereka adalah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. dari nabi SAW. “Sesungguhnya nabi SAW bersabda ,’barang gadai itu diambil susunya dan ditunggangi”[15].

c.       Yang membatalkan gadai
apabila barang gadai telah dikembalikan pada pihak rahin dengan keinginan pihak murtahin, maka akadnya menjadi batal[16].

d.      Musnahnya barang gadai[17]
Mengenai tanggung jawab atas musnahnya barang gadai, para ulama berbeda pendapat, sebagian ulama berpendapat bahwa barang gadai adalah titipan dari oranmg yang menggadaikan. Jika terjadi kemusnahan ditangan penerima gadai, maka yang dipegangi adalah kata-kata penerima gadai dibarengi sumpahnya, bahwa ia tidak melalaikan dan tidak menganiaya barang tersebut. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi`I, Ahmad, Abu Tsaur, dan kebanyakan ahli hadist.
Ulama lain berpendapat bahwa barang gadai itu dari penerima gadai dan kerugiannyapun dibebankan kepadanya. Pendapat ini dipegangi oleh Abu Hanifah dan jumhur Fuqoha.
Namun juga ada sebagian ulama yang menjadikan barang gadai sebagai titipan yang tidak harus ditanggung kerusakanya oleh penerima gadai, berpegangan dengan hadist Sa`id bin Musayyab r.a. dari Abu Hurairah r.a. bahwa nabi SAW bersabda : “barang gadai itu  tidak dimiliki oleh penerima gadai, dan ia adalah dari orang yang menggadaikannya. Baginya keuntungan dan kerugiannya” [18]

e.      Menjual atau menghibahkan barang gadai
jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh menjual atau menghibahkan barang gadai. Jika ioa menjualnya, meka penerima barang gadai bias mengijinkan gadai atau membatalkan.
Menurut malik, jika penerima barang gadai menyatakan bahwa dirinya mengizinkan barang itu dijual, itu dimaksudkan untuk mempercepat pelunasan kewajibannya, maka ia harus bersumpah untuk maksud tersebut, dan ia punya hak untuk berbuat demikian.
Segolongan ulama berpendapat bahwa barang gadai itu bias dijual.
Jika barang gadai berupa budak lelaki atau budak perempuan kemudian dimerdekakan oleh orang yang menggadaikan, Malik berpendapat, jika orang yang menggadaikan itu kaya, maka pemerdekaanya itu bdapat diluluskan, dan pelunasan hak penerima gadai dapat dipercepat. Sedang jika dia orang yang tidak mampu, maka budak tersebut dijual, dan kewajibannya untuk melunasi utang dibayarkan dari harga penjualan tersebut.
Dari Syafi`I ada tiga pendapat : di tolak, diluluskan, dan yang ketiga sependapat dengan Malik.[19]


BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari pembahasan makalah diatas maka bias diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Rahn barang yang diberikan kepada pemberi hutang sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam sampai hutang tersebut dikembalikan sepenuhnya
2.      Dasar hukum rahn adalah berdasarkan firman allah yang berbunyi :
“jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yag dipegang (oleh orang yang menghutangkan) akan tetapi jika sebagian dari kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanat (utang) nya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah tuhannya” (Al-Baqarah : 283)
Dan juga dalil sunnah :
Dalam riwayat bukhori dan lainnya Aisyah Ummul Mukminin r.a. menceritakan,”Rosululloh pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan ia menggadaikan baju besinya.”
3.      Rukun Rahn adalah :
a.      Rahin (orang yang memberikan jaminan).
b.      Murtahin (Orang yang menerima).
c.       Marhun (jaminan).
d.      Marhun bih (utang).
4.      Rahn bersifat akad derma sebab apa yang diberikan penggadai kepada penerima gadai adalah tidak ditukar dengan sesuatu. Karena sejatinya yang diberikan penerima gadai kepada penggadai adalah bukan sebagi penukar atas barang yang digadaikan.



DAFTAR PUSTAKA

1.      Syafe`i Rachmat, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, bandung 2001
2.      Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta 2006
3.      Rusyd Ibnu, bidayatul Mujtahid, pustaka Amani , Jakarta 2007




[1] Sayyid sabiq, fiqqih sunnah, jilid 3, hal 187,
[2] Rahmad syafe`I, fiqih mu`amalah, hal 159.
[3] Ibid, hal 160.
[4] Ibid, hal 160.
[5] Ibnu rusydi, bidayatul mujtahid,juz 3, hal 191.
[6] Rachmad syafe`I, hal 161.
[7] Sayyid syabiq, hal 188
[8] Rachmad syafe`I,fiqih muamalah, hal 162.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid, hal 164.
[12] Ibid, hal 164.
[13] Ibnu rusyd, Op.Cit. juz III, hal 200.
[14] Rachmad syafe`I, Op.Cit. hal 172.
[15] Ibnu rusyd, op,Cit, juz III, hal 203
[16] Sayyid syabiq, Op,Cit. hal191.
[17] Ibnu rusyd, Op,Cit, Hal 204-205.
[18] Ibid, hal 204.
[19] Ibid, hal 207.